Kamis, 13 September 2012

Leaving You

1. Author:  Han Hyo Hee

  • 2. Judul : EunSeoMin Story ; Leaving You


    3. Kategori: NC 17, Yadong, Kekerasan, Oneshoot


    4. Cast:
    • Park Hyo Seo
    • Lee Hyuk Jae (Super Junior)
    • Park Jung Soo (Super Junior)
    • Park Yoonhae
    • Lee Sungmin (Super Junior)
    • Lee Yoora
    • Choi Sulli (f(x))
    • Cho Kyuhyun (Super Junior)
    • Lee Jinki (SHINEE)

    Nb ::
    author yang radha sarap datang. Tereng! Clap your hand! *maksa*.
    Hoho… nggak ikhlas ga usah ga papa.. ^^ mianhae kalo agak lama. Author
    lagi sibuk ngurusin tes pendaftaran. Hohoho… doain ya… buat reader yang rajin coment… jeongmal
    gomawo… love you all… ^^ Hehehe… enjoy aja. Nggak perlu tegang-tegang
    *?*. okay, dari pada kebanyakan curcol, langsung aja.. ^^
    ————————————————–
    –Flashback before–

    Park Jung Soo appa yang dianggap kejam oleh Park Hyoseo, dengan setia
    dan cemas menunggui Hyoseo yang belum pulang juga sejak jam 7 malam. Ia
    sangat khawatir dengan anak semata wayangnya itu. Tanpa memperdulikan
    nyamuk-nyamuk yang memburunya dan hawa dingin yang begitu merembes
    kulit, ia masih stay di teras rumahnya. Bahkan hingga tertidur di kursi
    teras.

    Sedangkan Hyoseo sedang terlelap karena lelah menggerogoti tubuhnya.
    Ia tertidur di kamar Eunhyuk dengan pulasnya tak tahu bahwa Appa sedang
    menungguinya dengan rasa cemas.
    –Flashback end–
    ***
    –Park Hyo Seo-POV–
    @ Seoul, 1 Juli 2014
    Time :: 7 A.M.

    Kubuka mataku perlahan. Sinar mentari pun sudah menembus jendela
    kamar Hyuk. Aku bangkit perlahan sambil mengucek-ngucek mataku.
    Menggeliat sesaat merenggangkan otot-ototku.

    “ Annyeong haseyo,” tiba-tiba Hyuk datang dan membawakan semangkuk
    mie.
    “ Annyeong,” aku pun tersenyum melihat Hyuk datang.

    “ Jagiy, kita makan dulu, okay?” Hyuk meniup-niup permukaan mangkuk
    dengan kepulan asap diatasnya. Menandakan masih panas.
    “ Ne.”

    Hyuk pun menyendok kuah mie yang ada di mangkuknya dan
    meniup-niupkannya. Menempelkan bibirnya untuk mengecek masih panas atau
    tidaknya dan menyuapkannya padaku. Ia juga menyendokkan mie di
    mangkuknya dan menyuapkannya padaku. Intinya pagi ini aku disuapi oleh
    Eunhyuk, aeinku yang paling aku sayangi.

    “ Jagiy, karena kau sudah milikku seutuhnya. Aku akan memberitahumu
    tentang data rahasia itu. Tapi, ini privacy.”
    “ Ne. Apa isinya?” tanyaku sambil mengunyah mie di mulutku.

    “ Vidio yadong. Tapi, jangan bilang siapa-siapa ya. Ini rahasiaku,”
    pintanya.

    “ Mwo!” aku tersentak dan terbelalak. Pantas saja tadi malam… apa?
    Tadi malam? Berarti, ini sudah pagi. Omo! Pabo! Aigoo, kenapa aku baru
    ingat. “ Jagiy! Sekarang jam berapa!” tanyaku panik.
    “ 11. Waeyo?” tanyanya bingung.

    “ Aigoo! Aniyo! Aku harus pulang. Appa! Dia pasti mencariku. Aish!
    Ottokhae?” Aku bergegas bangkit dan mondar-mandir cemas. Aku benar-benar
    bingung. Sedangkan Hyuk hanya menatapiku bingung.

    “ Mwo? Appa???” ia berpikir sejenak. “ Omona! Kau belum pulang!”
    pekiknya teringat.

    Aish! Aku benar-benar lupa. Dan ini, sudah jam 11. Appa, Jerman,
    pulang, pindah? Omona! Semuanya hal itu berputar dikepalaku kencang.
    Bagaikan angin topan, dan hal-hal itu sukses besar membuatku pusing
    seketika. Aku masih mondar-mandir dikamar Hyuk bingung. Tunggu! Aku
    harus berpikir. Kkaja, kkaja Hyoseo! Kau harus punya rencana! Alasan
    paling tidak, untuk menghadapi Appa nanti. Omo, apakah aku akan
    dibunuhnya? Eomma, apakah aku akan menyusulmu sebentar lagi? Apakah Appa
    akan membunuh anaknya sendiri hanya karena aku tidak pulang semalam?

    “ Hyoseo, perlukah aku bilang pada Appamu? Biarkan aku yang antar kau
    pulang, dan akan aku jelaskan semuanya. Arra?” kata Hyuk mencoba
    menenangkanku.

    “ Andwae! Kau ingin memperparah keadaan? Heh?!” tanya ku dengan nada
    tinggi. Oh tidak! Aku mulai terforsir suasana. Tapi, bagaimana ini? Aku
    harus apa? Aku benar-benar gamang.
    “ Aniy,” kata Eunhyuk dengan suara lemahnya. Ia menunduk sedih.
    “ Aigo… mianhae. Bukan maksudku begitu. Aku hanya…” kataku terpotong.

    “ Aku tahu, Appamu begitu menentang kita. Aku khawatir terjadi
    apa-apa denganmu. Aku… aku tak ingin hal itu terjadi padamu,” ucapnya
    sambil menatapku dalam-dalam. Dari matanya terbias ketulusan yang
    mendalam. Membuat darahku berdesir seketika.
    “ Jagiy…” gumamku tak berdaya.

    “ Aku rasa ini salahku. Salahku karena terus saja berusaha
    mendekatimu. Harusnya kau tak mengenalku. Harusnya aku menjauh saat ada
    larangan itu. Harusnya aku berhenti mencintaimu. Tapi aku tidak bisa.
    Aku sungguh-sungguh tidak bisa. Harusnya aku menjauh darimu. Mianhae,
    Jagiy! Jeongmal mianhae,” kata Hyuk dengan sesal tergambar jelas di
    wajahnya.

    “ Aniyo. Ini salahku, Jagiy! Mianhae,” kataku menyalahkan diri
    sendiri. Dan secara tidak langsung, aku telah membelanya. “ Baiklah, aku
    akan pulang sekarang. Gomawo.”

    Aku mulai santai. Tapi santai kali ini bukan dalam arti aku tenang.
    Santai kali ini dalam arti aku sedih. Amat sedih. Mengingat Appa yang
    amat menentang hubungan ini. Lagi-lagi aku teringat dengan Eomma.

    Aku pun berjalan perlahan ke pintu kamar Hyuk. Dengan langkah berat
    ku giring kakiku menuju pintu. Dengan kepala tertunduk dan menahan
    hasrat untuk menatap ke belakang. Aku tidak tahu apa yang Hyuk lakukan
    sekarang. Apakah ia tertunduk dan bersedih? Ataukah dia malah senang
    bahagia? Aku rasa itu tidak mungkin, karena aku merasakan ketulusannya
    saat berbicara padaku.
    “ Saranghae,” gumam ku pelan saat hendak membuka pintu.

    Hening… kenapa tidak ada jawaban? Kenapa seakan tidak ada reaksi?
    Kenapa Hyukjae? Kenapa? Aku berharap kau memanggilku. Aku berharap kau
    mencegahku. Aku berharap kau memintaku untuk tetap tinggal. Kini aku
    rasakan sesak membebani dadaku. Jutaan tanda tanya bergelimang
    dikepalaku. Mataku panas seketika. Hatiku perih tiba-tiba. Hyukie!
    Benarkah kau akan membiarkanku pergi? Cegah aku! Jebal!

    Kreeeek… kutarik engsel pintu. Aku masih menunggu. Menunggu reaksi.
    Tapi, tapi kenapa tidak ada.

    Cklek! Suara pintu tertutup. Omo! Benarkah? Benarkah ini? Dia
    membiarkanku? Dia tak peduli? Dia benar-benar tak berbuat apa-apa?
    Hyukjae, kenapa kau biarkan aku pergi? Baiklah, jika kau ingin aku
    pergi. Aku akan pergi. Sejauh mungkin.
    –Park Hyo Seo – POV end—
    ***
    –Hyuk Jae – POV –

    Hyoseo, mianhae. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku tak bisa
    membantumu. Tapi mungkin ini memang salahku. Aku harusnya berhenti
    mendekatimu. Berhenti mencintaimu. Berhenti menyayangimu. Saat itu,
    harusnya aku sudah berhenti sejak saat itu. Saat hatiku tercabik
    menerima kenyataan yang ada. Saat raga dan jiwaku begitu sakit tertusuk
    realita.
    ——Flashback——

    Aku dan Hyoseo sedang berjalan-jalan di mall untuk membeli sebuah
    hadiah untuk sahabatnya yang bernama Choi Sulli. Saat itu, Sulli
    berulang tahun. Jadi, ia hendak membuat sebuah kejutan untuk sahabatnya
    itu.

    Di sebuah stan hadiah, aku masih menemani Hyoseo yang sibuk
    memilih-milih barang. Aku membuntut dibelakangnya sambil memandang
    kesekeliling. Membantunya mencari barang yang pas.
    Bruukkk!

    Tiba-tiba aku tersungkur. Ada sesuatu yang mengenai punggungku. Aku
    rasa itu benda keras, dan memang sengaja di arahkan padaku. Aku bisa
    merasakan niat dari orang yang memukulkannya padaku.
    “ Kyaaaa!!!” terdengar pekikan Hyoseo nyaring di telinga.

    Aku bangkit dan terhuyung. Ku pegangi punggungku yang terasa sakit.
    Aku menoleh dan kudapati Cho Kyuhyun menatapku dengan tatapan membunuh.
    Tongkat pemukul kasti kini ada di tangannya. Ternyata… magnae evil ini
    yang memukulku. Mau apa dia?
    “ Yak!! Apa maumu, heh?” bentak ku kesal.

    “ Hahaha…” tiba-tiba terdengar suara gelak tawa. Tapi suara itu bukan
    milik Kyuhyun. Aku yakin itu. Dan saat itu juga muncul seseorang dari
    belakang tubuh Kyuhyun.

    Omo! Betapa kagetnya diriku mendapati seorang Park Jung Soo, ayah
    dari Hyoseo telah disini dan tertawa puas melihatku kesakitan. Firasatku
    mulai tidak enak.

    “ Appa…” gumam Hyoseo tak berdaya. Matanya mengerjap-ngerjap seakan
    tak percaya pada penglihatannya.

    “ Hyoseo, kenapa kau melanggar laranganku? Hah!” gertak Mr Park
    marah.

    “ A… aniyo, Appa. Mianhae… I’m sorry,” kata Hyoseo sambil tertunduk
    dalam.

    “ Kau berani mengabaikan larangan Appa, ya? Bagus lah! Kau ingin dia
    terluka?” ancam Mr Park. Ia menunjuk aku yang terhenyak diam seribu
    bahasa.

    Kyuhyun pun memukul lenganku dengan kencang. Sakit. Aku mengusap
    lenganku yang memar itu.
    “ Andwae!” pinta Hyoseo sambil terisak.
    “ Sudah Appa bilang! Jauhi dia!” bentak Mr Park.

    Kyuhyun belum berhenti menyiksaku. Apakah kalian pikir dia hanya
    memukulku sekali dua kali? Tidak. Dia memukulku berkali-kali. Walaupun
    aku merintih kesakitan. Walaupun aku berusaha keras menghindar. Walaupun
    Hyoseo menjerit memohon untuk tidak melakukannya. Walaupun aku memohon
    pada Kyu agar berhenti. Tapi, ia terus melakukannya. Lenganku,
    punggungku, perutku, kepalaku, kakiku, badanku. Semua jadi sasaran.
    Bahkan sempat aku berharap agar satpam mall kunjung datang dan menangkap
    Kyuhyun yang aku rasa kini menjadi anak buah Mr Park. Mr Park terus
    tertawa puas melihatku yang sengsara. Tampak semburat bahagia dan
    kebencian saat ia menatapku.

    Hingga aku babak belur. Darah mengalir dari hidung dan mulutku, wajah
    dan badanku memar-memar. Aku benar-benar tak berdaya sekarang. Aku
    hanya bisa terhuyung dan terhempas kesana kemari. Pemukul kasti dari
    besi itu sukses membuatku kesakitan. Disekeliling kami orang-orang
    berkerumun melihat penganiayaan yang dilakukan Kyuhyun terhadapku.
    “ Kyu! Ppali!” perintah Mr Park memberi isyarat.

    Aku tersontak kaget saat tubuhku ditarik Kyuhyun untuk bangkit.
    Tubuhku yang sedang tidak berdaya ini hanya mampu menurut. Dengan kasar
    ia menyeretku keluar stan hadiah dan mendorongku ke pembatas lantai. Ia
    menundukkan kepalaku sehingga aku bisa melihat lantai dasar mall dari
    lantai 4 ini. Darahku berdesir, jantungku berdetak hebat. Tanganku hanya
    bisa menahan sambil berpegangan pembatas lantai.

    “ Andwae!! Appa! Jebal! Andwae!” kudengar rengekan Hyoseo dengan
    suara gemetarnya karena tangis. Hatiku nyilu mendengarnya. Ingin rasanya
    kupeluk dan meredam tangisnya di dada bidangku.

    “ Aku tidak segan-segan menyakitinya, Hyoseo-ah. Bukan kah, aku sudah
    pernah bilang? Hahaha.” Mr Park kembali tertawa bahagia.

    “ Andwae, Appa! Jebal! Aku tidak akan melanggarnya lagi. Aku janji.
    Ku mohon, Appa! Lepaskan dia.”
    “ Kyu! Enough!”

    Kyuhyun pun perlahan melepaskan kerahku dan dorongannya untuk
    memojokkanku ke pembatas lantai. Ia melangkah meninggalkanku yang kini
    tengkulai lemas terduduk bersender pembatas lantai.

    “ Kkaja! Ayo kita pulang,” ucap Mr Park sambil menarik kasar lengan
    HyoSeo.
    “ Hyuk-ah!!!” panggilnya berusaha memberontak.

    Aku hanya bisa menatapnya sayup. Ia tampak memberontak namun tak
    kuasa. Sedangkan aku hanya terduduk lemah memandangi yeojachinguku
    diseret Appanya. Air mataku sudah menggenang dipelupuk mata. Ternyata,
    selama ini hubunganku dengan Hyoseo ditentang? Ternyata, Hyoseo yang
    pergi diam-diam dan selalu mematikan handphonenya saat bertemu denganku
    melakukannya karena Mr Park menentang? Dadaku sesak seketika. Hatiku
    tercabik dan remuk. Rasanya sungguh jauh lebih sakit daripada tadi, saat
    aku dipukul Kyu bertubi-tubi. Lebih baik mati dipukul daripada mati
    rasa seperti ini. Omo! Apa yang harus kulakukan?

    Sepulang dari mall tempat aku dipukuli, aku benar-benar stress. Aku
    putuskan untuk minum Soju untuk menghilangkan rasa stresku ini. Mungkin
    aku terlalu banyak minum, hingga akhirnya aku mabuk sampai larut malam.
    Setelah aku rasa cukup, aku pun pulang dengan jalan terhuyung sambil
    menyanyi-nyanyi gaje seperti orang sinting. Dan saat dijalan, beberapa
    orang bertubuh kekar menghadangku.

    Mereka memukuliku, menyerang, dan mengeroyokku yang tak berdaya ini.
    Tubuhku serasa semakin hancur. Memar semakin menghiasi tubuhku. Luka pun
    bertambah dimana-mana. Tapi hatiku terasa lebih pedih. Perasaanku
    seakan terhempas dari langit yang ke-9. Aku tahu! Aku tahu siapa
    dalangnya. Aku tahu! Mr Park lah, orangnya. Dia pasti yang menyuruh
    orang-orang itu untuk menghajarku lagi. Atau mungkin malah menghabisiku.
    Bukan maksudku menuduh. Tapi, siapa lagi kalau bukan dia? Siapa?
    Kyuhyun? Bahkan ia kini anak buah Mr Park. Omona! Kyu, ingatkah kau
    tentang persahabatan kita dulu?

    Paginya, aku masih terbaring di ranjangku. Dengan pakaian yang masih
    kukenakan semalam. Aku tak sempat ganti pakaian atau bahkan mandi.
    Badanku masih dipenuhi luka dan memar. Kejadian kemarin sungguh sulit
    terlupa. Bahkan, kau boleh percaya ataupun tidak. Semalam aku memimpikan
    hal itu. Mr Park, Hyoseo, Kyuhyun. Aish! Mungkin, ini memang suatu
    pertanda bahwa aku harus berhenti.
    Tapi, saat aku meneguhkan hati dan memantapkan tekadku… ia datang.

    Aku bangkit dari ranjang dan merapikan ranjangku. Tiba-tiba bel pintu
    berbunyi. Aish! Jangan sampai suruhannya Mr Park lagi. Aku muak.

    Aigoo! Betapa terkejutnya diriku mendapati Hyoseo berdiri tegak
    dihadapanku. Dengan wajahnya yang pucat pasi, matanya yang sembab, dan
    dandanan yang berantakan. Ia masih mengenakan pakaian tidurnya. Aku rasa
    ia kabur dari rumah.

    Hyoseo meminta maaf padaku. Ia menjelaskan semuanya. Dari sorot
    matanya ia seakan berharap aku bisa mengerti. Ia memohon padaku untuk
    tidak meninggalkannya. Ia bilang, ia masih mencintaiku. Dan aku rasakan
    ada ketulusan saat ia mengatakannya. Aku, aku benar-benar tidak tega.
    Aku tidak tega melihatnya memelas. Aku tidak sampai hati melihatnya yang
    begitu menyedihkan. Hingga akhirnya aku turuti kemauannya. Kami
    backstreet.
    —Flashback end—
    ***

                    Kejadian itu, terekam jelas diotakku. Kejadian itu,
    selalu kuingat walaupun aku sudah berusaha sekeras mungkin melupakannya.
    Tapi, kejadian itu selalu melumpuhkan niatku untuk menahanmu. Kejadian
    itu, selalu mengurungkan niatku untuk menjagamu dengan tanganku.
    Kenyataan yang menamparku adalah aku tak bisa melindungi orang yang aku
    sayangi dengan tanganku sendiri.
    –Hyuk Jae – POV end–
    ***
    –Hyoseo – POV–

    Aku berlari pulang sembari menangis pilu. Hyuk, kenapa kau tak
    menahanku? Aku benar-benar akan pergi. Pergi jauh. Tapi, kenapa kau
    biarkan aku pergi? Waeyo!

    Langkahku terhenti begitu saja saat kudapati pintu gerbang rumah
    terbuka lebar. Mataku terbelalak kaget mendapati Appa yang sedang duduk
    di kursi teras sambil memandangi handphonenya cemas. Hingga akhirnya ia
    mendongak dan menatapku yang berdiri kaku di dekat gerbang. Spontan aku
    berbalik hendak kabur.
    “ Hyoseo-ah! Come here!!” bentak Appa dengan suara lantangnya.
    Aigoo! Aku harus bagaimana? Ottokhae? Aku galau.
    ” Hyoseo-ah! Appa bilang kemari!” bentak Appa mulai kesal.

    ” Ne,” aku pun menurut sebelum terlambat. Sebelum Appa
    meledak-ledak. Aku mendekat dengan langkah ragu-ragu.

    ” Dari mana saja kau ini, Heh?! Tidur dimana kau semalam?
    Bisa-bisanya mini market tutup tapi kau tak pulang?” Appa marah-marah.
    Aku hanya bisa terdiam membisu.

    ” Kau ini mau jadi apa? Heh! Bukankah sudah Appa konfirmasi kalau
    hari ini kau akan berangkat ke Jerman?! Jangan-jangan kau mau kabur,
    ya?”

    Mwo? Apakah tuduhan itu tidak salah? Kabur? Aku rasa akan jadi benar
    kalau tadi Eunhyuk menahanku. Kalau tadi Eunhyuk memintaku untuk tetap
    tinggal. Tapi… Omona! Aku lupa! Aku lupa memberi tahunya kalau aku akan
    ke Jerman. Aish! Ottokhae? Hyuk-ie… Mianhae…
    ” A-aniyo,” jawabku getir.

    ” Lalu? Tadi malam kau kemana! Jangan bilang kau menginap dirumah
    cunguk sialan itu (*baca=Eunhyuk). Kau berani menentang Appa?!” nada
    suara Appa mulai meninggi.

    Aigoo… Apakah sebentar lagi aku akan digampar? Dipukul? Ditendang?
    Atau diusir?
    ” Aniyo. Aku kerumah Sulli!” elakku.

    ” Mworago? Sulli? Kau mau bohong pada Appa! Appa tadi malam sudah
    telpon dia. Katanya kau tidak ada. Kau pikir Appa pabo?”

    ” Mwo? Jinja? Aku semalam kerumah Sulli. Tapi karena aku mengetuk
    pintu tak dibuka-bukakan aku ke rumah Yoora,” dustaku panjang lebar.

    ” Yoora?? Siapa lagi itu? Bukankah Appa punya semua nomor telpon
    teman-temanmu? Siapa itu Yoora? Kenapa Appa tidak tahu?” Appa
    mengintrogasiku dengan penuh tanya.

    ” Aish! Memangnya temanku hanya Sulli? Yoora itu adik kelasku. Aku
    lumayan dekat dengannya. Sudah lah, Appa! Aku lelah,” karangku semakin
    menjadi-jadi.

    Mianhae, Hyuk. Aku harus meminjam nama dongsaengmu untuk beralasan.
    Aku benar-benar tak tahu harus bagaimana lagi. Apalagi tadi aku sedang
    terpojok. Tapi, nama dongsaengmu telah menyelamatkanku. Gomawo.

    Aku pun melangkah masuk sambil memegangi kepalaku. Berakting seolah
    pusing, itu cara ampuh agar Appa tidak membahasnya lagi. Aku kerap
    melakukan itu, dan selalu berhasil.
    ***

    Aku kemasi semua barang-barangku ke dalam kopor. Baju-bajuku,
    beberapa buku penting, dan barang-barang yang aku rasa harus aku bawa.

    Sebelum menutup kopor, kupandangi sebuah foto yang aku rasa akan
    menjadi sebuah kenangan. Tak akan kulupa, sosok di foto itu. Sosok yang
    selalu jadi permata dihatiku. Sosok yang selalu ada di benakku.
    Selamanya…

    Tau kah, aku Hyuk? Belum sampai sehari, aku sudah merindukanmu.
    Apakah kau juga sedang memikirkanku sekarang? Atau kau sudah
    melupakanku? Secepat itu kah?

    ” Hyoseo-ah!! Ppali! Nanti ketinggalan pesawat!” suara Appa
    memanggilku.
    ” Ne,” pekikku menjawab Appa.

    Tak terasa air mataku telah menetes sedari tadi. Cepat-cepat kuusap
    dan kumasukkan foto Hyuk ke saku jaketku. Aku pun menutup resleting
    kopor dan mengangkatnya dari ranjang. Kutarik pegangannya dan menariknya
    keluar kamar.
    – Hyo Seo – POV end –
    ***
    – Hyuk Jae – POV –

    Aku masih terdiam dari posisiku. Mie yang tadinya kubuat untuk Hyoseo
    kini sudah dingin ditanganku. Masih terbayang saat-saat itu. Tapi, aku
    benar-benar ingin bersamanya. Ya! Ini bukan salahku, atau salah Hyoseo.
    Ini bukan salah siapapun. Ini hanya nasib. Tapi, nasib bisa diubah
    bukan? Bukankah nasib bisa berubah jika manusia mau berusaha? Yak! Aku
    akan merubahnya. Sekarang. Walaupun aku harus dipukuli hingga aku
    sekarat. Walaupun aku akan dicaci maki hingga habis kesabaranku.
    Walaupun cinta terlarang ini ditentang. Bagaimana pun juga ini cinta.
    Cinta butuh pengorbanan untuk mencapainya.

    Hyoseo, aku akan menjemputmu. Kita akan pergi berdua. Hanya berdua.
    Aku tak peduli Appamu akan mebunuhku. Aku tak peduli Eomma dan Appaku
    akan berkomentar apa. Bahkan aku tak peduli jika Appamu akan benar-benar
    membunuhku. Aku tak peduli sama sekali. Aku hanya peduli kau. Cinta
    kita. Hati kita. Dan aku harap kau memilih jalan yang sama denganku.

    Aku bangkit. Menaruh mangkuk mie di meja belajarku dan berburu-buru
    membuka lemari. Kuambil sebuah kemeja putih dan mengenakannya. Berkaca
    sesaat dan ngacir dari kamarku.

    Ku kunci pintu rumah, dan buru-buru berlari. Mungkinkah ia masih
    dijalan? Mungkinkah dia belum masuk pekarangan rumah? Sehingga aku bisa
    membawanya kabur? Aku berlari sekuat tenagaku dan secepat aku bisa.
    Sempat aku menabrak beberapa orang dan menyebrang jalan tanpa aturan.
    Bahkan nyaris nyawaku hilang tertabrak mobil. Tapi, ini tak seberapa
    dengan harapan aku bisa membawamu pergi Hyoseo. Kita akan hidup bersama.
    Berdua. Tanpa kekangan, tanpa larangan.

    ” Hey! Namja gila! Mau mati, kau?!” umpat pengemudi mobil yang kini
    menghentikan mobilnya.
    Suara anjing menggonggong itu tak kuhiraukan. Aku terus berlari.

    Saat aku sudah hampir sampai rumahmu, kira-kira 1 km lagi, ada sebuah
    mobil sedan hitam berjalan berlawanan arah denganku. Sepintas aku
    melihat Mr Park dari kaca depan. Dan aku melihatmu, Hyoseo! Kau dijok
    belakang sedang memandang keluar jendela. Tapi, sayangnya kau duduk
    disisi yang berjauhan dari tempatku. Jadi kau tak melihatku. Aigoo!
    Apakah aku terlambat, Hyoseo?

    Aku pun mengerem lariku mendadak.  Hampir saja aku terjungkal
    karenanya. Nafasku terengah. Aku benar-benar tak menduga kau akan pergi.
    Kau akan pergi kemana Hyoseo, sayang?  Kenapa tiba-tiba?
    ” Hyoseo-ah!!!” teriakku memanggilnya.

    Mobil semakin menjauh dari pandanganku. Mataku panas. Dadaku sesak.
    Hatiku seakan tertusuk pisau tajam. Diantara nafasku yang
    terengah-engah, aku menangis. Sakit. Waeyo Hyoseo-ah? Waeyo? Kau
    benar-benar meninggalkanku? Kenapa kau lakukan itu? Waeyo!!
    ” Hyoseo-ah!!!” teriakku sambil berlari mengejar mobil itu.

    Aku berlari. Berlari sekuat tenaga dan secepat aku bisa. Langkahku
    semakin kupaksa daripada sebelumnya. Walaupun nafasku berat sudah, dan
    perut samping kananku terasa perih. Aku tetap harus mengejarmu, Hyo.
    Harus! Maafkan, Hyo. Aku terlambat. Dan disisa waktu yang terus menjepit
    ini aku tak boleh terlambat lagi. Aku tak mau kehilanganmu.

    Aku berlari mengejar mobil sedan hitam itu dengan linangan air mata
    di pipiku. Mobil yang membawa Hyoseo pergi. Dan aku punya firasat tak
    enak tentang itu. Hyoseo, apkah kau akan pergi meninggalkanku selamanya?
    Atau kau hanya pergi sebentar?

    Mobil sedan itu pun menghilang di sebuah tikungan. Aku semakin
    memaksakan langkahku. Tak kupedulikan aku berlari di tengah jalan.
    ” Hyoseo-ah!!!!” teriakku masih berusaha memanggilmu, Hyo.

    Apakah kau dengar, Hyo? Apakah kau tak mendengar suaraku? Bahkan
    tidak hanya dilisan aku berteriak. Hatiku ikut menjerit takut
    kehilanganmu.
    BRAAAAAAAAKKKKKKKKK!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

    Tepat di tikungan, kurasakan tubuhku terhempas. Aku terlempar dan
    tersungkur ke aspal. Sempat kulihat samar-samar mobil sedan hitam yang
    membawamu pergi dari bawah mobil yang telah menabrakku.
    ” Hy-Hyoseo…” gumamku sebelum semuanya gelap.
    ***

                    Perlahan kubuka kelopak mataku yang terasa berat ini.
    Cahaya lampu neon menusuk mataku yang sayup ini.
    “ Hyuk Oppa? Kau sudah sadar?” terdengar suara Yoora samar-samar.
    “ Hy-hyoseo?” gumamku setengah sadar.

    Pikiranku masih terpusat padamu, ayahmu, mobil sedan hitam yang
    membawamu, rencana busukku untuk mengajakmu kabur. Tapi aku terlambat!

    “ Oppa! Berhenti memanggilnya! Dia tidak ada disini!” suara Yoora
    tampak sengit.

    “ Hy-hyoseo… Hyo…” aku masih memanggil-manggil namamu. Kejadian tadi,
    masih berputar-putar dikepalaku yang terasa pening ini. Aku kalah
    telak. Aku kalah dari waktu, ayahmu, dan mungkin itu takdir. Haish! Aku
    benci takdir.

    “ Oppa! Dia tidak akan datang! Diam lah, Oppa! Dia tidak disini, dan
    tidak akan pernah disini.”
    “ Hyo… Hyoseo…” aku masih menggumam-gumam tak jelas.

    Benarkah kau tidak disini? Aku memutar mataku memandangi seluruh
    penjuru kamar inap ini dengan sayu. Berharap kau ada disini. Mungkinkah
    kau disudut? Ataukah kau sedang bersembunyi? Aniyo, itu tidak mungkin.
    Aku rasa sebelum kau masuk, Yoora pasti akan mengusirmu dulu. Yah, aku
    tahu kalau dia sangat membencimu. Entah kenapa. Tapi, benarkah perkataan
    Yoora itu? Kau tidak akan menemuiku? Tidak akan menjengukku yang
    terbaring lemah ini? Tak akan menanyakan kabarku yang sangat tidak baik
    ini? Aku harap kau datang. Aku sangat mengharap itu.

    Tapi, bagaimana jika kau benar-benar pergi? Apakah Appamu itu akan
    membawamu pergi dariku? Kenapa rencanaku harus gagal karena waktu?
    Kenapa impianku gagal hanya karena mobil sialan itu menabrakku? Waeyo?
    “ Oppa! Kau harus terima kenyataan kalau Hyoseo bukanlah untukmu!”

    Aigoo… dongsaengku, Yoora… kenapa kata-katamu bisa sepedas itu?
    Belajar dari mana kau? Apakah Appa yang mengajarimu? Atau Eomma?
    Impossible. Mereka tidak punya waktu untuk mengajarimu berbicara pedas
    seperti itu. Pernahkah aku mengajarimu berucap seperti itu? Tidak
    pernah! Tapi, kenapa kau melontarkan perkataan yang begitu menusuk ulu
    hatiku itu? Kenapa harus kau ucapkan untukku?

    “ Hyo…” aku masih bersikukuh memanggilmu. Dengan air mata yang
    mengalir pelan turun dari ekor mata hingga menetes dibantal. Hatiku pilu
    mengingat semua tentangmu. Benarkah itu takdir?
    –Hyuk Jae POV _ end–
    ***
    –Hyo Seo POV–

    Selama di perjalanan aku hanya bisa tertegun memandangi jendela
    dengan perasaan galau. Tapi, aku rasa perasaan galau itu percuma. Ini
    sudah terlambat untuk memikirkan jalan keluar. Jalan keluar sudah
    tertutup, bahkan terkunci rapat. Hyuk, kenapa kau tak mencegahku? Waeyo?
    “ Ayo turun!”

    Aku tersentak kaget. Sudah sampai bandara rupanya. Aku pun menghela
    nafasku dan turun dari mobil. Appa sudah membuka bagasi dan menurunkan
    koperku. Perlahan dengan langkah ragu-ragu aku memasuki bandara.

    “ Sekolahlah yang sungguh-sungguh. Appa akan mempertimbangkan kau
    tinggal di Korea jika prestasimu bagus.”

    Mataku terbelalak, senyum mulai terkembang disudut bibirku. “
    Jinja?!” pekikku girang. Appa hanya mengangguk pelan sambil tersenyum
    penuh arti.

    “ Gomapta, Appa!!! Saranghae,” pekikku sumringah sembari memeluk
    Appa.
    “ Ne, cepat berangkat!” ucap Appa sambil menepuk bahuku pelan.

    “ Ne. Arra!” kataku bersemangat. Aku pun berlari ke salah satu pintu
    yang dijaga petugas bandara dengan semangat 45. Aigoo! Eomma, ternyata
    suamimu baik juga.
    ***

    “ Permisi?” kudengar suara seorang namja. Dan tampaknya ia berbicara
    denganku. Aku pun menoleh berpaling dari jendela pesawat.
    “ Hyoseo-ssi?” tanya namja itu ramah.

    “ Ne? Maaf, siapa ya?” tanyaku bingung. Aku benar-benar tidak kenal
    namja yang ada disebelahku ini. Bahkan aku melihatnya saja baru kali
    ini.

    “ Lee Sungmin imnida.” ucapnya sambil menyodorkan tangannya mengajak
    berjabat tangan. Dengan sedikit ragu, aku ladeni dia. “ Hyoseo mau
    kemana?”

    “ Mwo? Ah… aku mau ke Jerman,” ucapku berusaha seramah-ramahnya. Ia
    tersenyum dengan senyum mesumnya */plak!*.

    “ Ne? Waw, kita sama dong. Hyoseo mau ngapain ke Jerman?” tanyanya
    sok akrab.

    Omo! Lama-lama aku bergidik juga. Apa maksud namja ini sok kenal sok
    dekat begitu??

    “ Err.. aku akan melanjutkan studyku disana. Aku akan sekolah di
    salah satu SMA di Jerman,” jelasku.

    “ Jinja? Aku juga. Wah! Aku rasa ini takdir. Semoga kita bisa satu
    sekolah,” kata namja yang bernama Sungmin itu dengan senyum terkembang
    dibibirnya.

    Mwo? Takdir? Huih, kenal aja nggak. Tapi, aku jadi penasaran. Kenapa
    dia bisa tahu aku?
    “ Permisi,” panggilku saat Sungmin hendak membuka sebuah majalah.
    “ Apakah… aku pernah…pernah mengenalmu?” tanyaku dengan hati-hati.
    “ Mwo? Ah… aku rasa tidak.”
    “ Jadi?” tanyaku masih penasaran.

    “ Jadi apa?” pandangannya kini tertuju pada lembaran majalah
    dihadapannya.
    “ Kenapa kau bisa mengenalku?” tanyaku heran.

    “ Mianhae… itu privacy,” jawab Sungmin singkat. Kini aku merasa
    kacang. Aku pun menatapnya sambil komat-kamit tak jelas. Dalam hati aku
    mengutuki namja di sampingku ini. Tadinya sok akrab, sekarang cuek
    bebek. -.-
    ***

    Aku turun dari pesawat dengan perasaan lega. Setelah mengambil
    barangku, aku pun keluar bandara dan mencari taksi.
    “ Hyoseo-ssi!” suara seorang namja yang sepertinya pernah aku dengar.

    Aku menoleh dan kudapati Sungmin, orang aneh yang duduk disebelahku
    dipesawat tadi. Mau apa dia? Aish!

    “ Hyoseo-ssi sedang apa?” tanyanya dengan wajah innocentnya yang
    mesum */plak*.
    “ Menunggu taksi,” jawabku ketus. Terus terang aku mulai risih.
    “ Oh… Aku juga.”
    Siapa yang tanya?! Batinku geram.

    Saat ada taksi lewat, aku pun melambai-lambaikan tanganku. Dan tepat
    didepanku taksi itu berhenti. Kaca jendela perlahan bergerak turun dan
    kulihat supir taksi dengan kumis lebat menghiasi wajahnya dan mengenakan
    seragam dinasnya tersenyum. Tapi senyumnya tampak samar-samar, karena
    bibirnya tertutup kumisnya yang subur itu.
    “ Can you deliver me?” aku membungkuk untuk melihat ke dalam taksi.
    “ Where you’ll going?” tanyanya masih beramah-tamah.
    Aku pun menyodorkan secarik kertas pada supir berkumis lebat itu.

    “ Okey. I’ll deliver you.” jawabnya mantap. Aku pun tersenyum
    sekilas. Supir itu turun dari mobil dan membawakan koperku ke bagasi.
    Sedangkan aku langsung masuk ke jok belakang taksi.

    Setelah supir taksi itu masuk kembali ke jok pengemudi, aku
    tersentak. Aku merasakan ada yang duduk disampingku. Awalnya aku tak
    tahu karena aku sedang sibuk menghidupkan handphoneku.

    “ Yak!!! Omo! Mau apa kau?!” bentakku dengan perasaan kaget
    berkecambuk dibenakku.
    “ Mwo? Mau naik taksi,” ucapnya dengan tampang sok polos.
    “ Tapi kan, ini taksiku!” kataku geram.

    “ Ah… jangan ngaku-ngaku kau! Ini taksi milik Ahjussi itu,” bantah
    Sungmin sambil tersenyum. “ Come on, Sir!” Sungmin menepuk bahu supir
    itu dan alhasil taksi ini jalan.

    Aku kembali mengutuki namja ini dibenakku. Aigoo! Dosa apa aku?
    Bisa-bisanya bertemu namja aneh ini.
    ***
    @Jerman, 7 Juli 2014

    Naasnya diriku. Ternyata kos-kosanku dengan namja aneh itu
    berdekatan. Bahkan kami satu SMA. Haish! Aku benar-benar sial. Setiap
    hari Sungmin selalu menggangguku. Setiap pagi ia selalu menungguku di
    ambang pintu. Setiap pulang ia selalu mencariku. Setiap makan siang, ia
    selalu menjejeriku makan. Setiap istirahat dia selalu ke kelasku. Setiap
    hari libur ia pasti berkunjung ke kosku. Entah itu ngasih makanan lah,
    ngasih minuman lah, ngasih hadiah lah. -.- memangnya siapa dia? Namja
    chinguku? Oh, tidak bisa! Eunhyuk, lah namja chinguku.

    Ngomong-ngomong tentangnya, aku benar-benar merindukannya. Walaupun
    baru seminggu aku meninggalkan Korea. Tapi serasa sudah setahun.
    “ Hyoseo-ah! Kenapa kau melamun?”

    Aku tersentak kaget dan langsung menoleh. Aish! Sungmin sudah berdiri
    diambang pintu kamarku. Apa-apaan dia?
    “ Yak! Kenapa tidak mengetuk pintu dulu?” tegurku kesal.

    “ Kenapa harus mengetuk? Pintunya tidak ditutup?” tanya Sungmin
    sambil menghampiriku yang terduduk di tepi ranjang.

    “ Ah… terserah, lah…” jawabku tak acuh. Aku palingkan wajahku dan
    berbaring di ranjangku.

    Breepp… Tiba-tiba kurasakan ada seseorang yang naik ke ranjangku ini.
    “ Ah… paling namja aneh itu hanya duduk,” batinku.
    Breeeeppp… Breeep… Breeep…

    Omona! Kenapa perasaanku tidak enak? Sesaat kemudian kurasakan ada
    yang mengelus kakiku. Spontan aku langsung berbalik dan menatap Sungmin
    yang melakukan hal aneh itu.
    “ Yak! Mau apa kau?!” bentakku sembari menarik kakiku dan terduduk.

    “ Errr… Hyoseo… ada yang ingin aku katakan padamu,” ucapnya sambil
    mendekatiku.

    Terus terang aku bergidik. Aku pun menggeser posisi dudukku untuk
    menghindarinya. Aku mundur… mundur… hingga mentok ke sudut tembok. Yak!
    Aku menyesal. Kenapa ranjangku terletak disudut ruangan?

    “ Mwo! Jangan dekat-dekat! Yak!!” pekikku ngeri sambil berusaha
    menghindar. Walaupun sebetulnya tak mungkin. Karena posisiku yang
    benar-benar sudah terpojok. Kututupi kedua mataku dengan telapak
    tanganku.

    “ Hyoseo… saranghae…” ucap Sungmin lirih. Dia mengecup keningku
    perlahan.
    “ Mwo?” tanyaku sambil mengintip dari celah-celah jariku.

    Sungmin pun menarik tanganku hingga terlepas dari wajahku.
    Digenggamnya tangan mungilku dengan erat. Matanya menatapku. Sorotan
    matanya sejuk. Seakan ada hasrat untuk menjadi pelindung disana. Tapi…
    aku tetap takut dan aku tetap hanya akan mencintai Eunhyuk seorang.

    “ Aku bersungguh-sungguh. Kau tahu? Kenapa aku bisa mengenalmu
    sebelum kau mengenalku?” aku hanya menggeleng pelan. “ Karna aku telah
    memendam perasaan ini. Jauh sebelum kita bertemu.”

    “ Ta-tapi aku sudah punya namja!” elakku sambil menarik tanganku dari
    genggamannya perlahan. Tapi dengan sigap ia menarik tanganku dan
    menggenggamnya lebih erat.

    “ Arraso! Arra! Kau kira aku tidak tahu? Lee Hyuk Jae! Benar, kan?”
    kata Sungmin berapi-api. Aku hanya terdiam membisu. “ Aku tahu! Aku tahu
    semua. Aku tahu, kau selalu diam-diam jalan dengannya. Dan sepertinya
    Appamu tidak suka dengan hubungan kalian.”
    “ Yak! Tahu dari mana kau, Heh?” tanyaku dengan nada nyolot.

    “ Aku pernah melihat Hyukjae dipukuli oleh geromolan orang. Dan aku
    sempat menguping mereka. Hyukjae berteriak-teriak menyebut-nyebut namamu
    dan mengumpat-ngumpat. Ia juga menyebut-nyebut Park Ahjussi. Aku rasa
    saat itu ia sedang mabuk. Dan aku pernah melihat Mr Park tertidur di
    teras rumahmu saat kau sedang pergi dengan Hyukjae malam itu,” jelas
    Sungmin panjang lebar.
    “ Tapi, bagaimana bisa kau tahu semuanya?!” tanyaku heran.

    “ Rumahku kan, tepat berhadapan dengan rumahmu. Apakah kau tidak tahu
    itu?” tanya Sungmin masih menggenggam tanganku.
    “ Aniyo,” jawabku sambil menggeleng-geleng kepalaku.

    “ Yak! Pantas saja kau tak mengenalku. Aku selalu mengamatimu. Kau
    tahu itu, kan?” aku kembali menggeleng. “ Aish! Terserah lah!”
    “ Okey,” jawabku sambil melepaskan genggamannya.
    “ Yak. Changkaman!” pekik Sungmin histeris.
    “ Mwoya?” tanyaku bingung.

    “ Kenapa bibirmu begitu pucat?” tanyanya sambil mengelus bibir
    bawahku pelan.
    “ Jinjayo?” tanyaku sambil memegangi bibirku.

    “ Changkaman, ada sesuatu disana.” Sungmin memegangi tengkukku. Ia
    mencondongkan wajahnya lebih dekat ke wajahku. Jempolnya mengusap bibir
    bawahku perlahan. Sedangkan aku hanya bisa diam kaku.
    Deeg, deg, deg! Jantungku berdegup kencang. Apa-apaan ini?

    “ Ternyata bukan apa-apa. Kau kekurangan vitamin C,” ucap Sungmin
    masih stay pada rutinitas meraba-raba bibirku yang kering dan agak
    pecah-pecah dengan jempolnya. “ Biar aku sembuhkan.”

    Tiba-tiba Sungmin semakin mendekatkan wajahnya. Dan… yak! Bibirnya
    menyentuh bibirku. Apa-apaan ini? Beraninya dia popo aku.
    “ Yak!!” pekikku sambil mendorongnya.

    Bibir Sungmin berhasil terlepas. Tapi, Sungmin kembali menciumku
    tanpa menggubris tatapan sinisku. Tak lupa ia mendekapku erat agar aku
    tidak memberontak. Lidahnya menjilati bibirku yang masih mengatup rapat.
    Aku meronta. Berusaha mendorongnya lagi. Tapi Sungmin memelukku terlalu
    erat.
    Tiba-tiba…. Omona! Perutku! Kenapa ini? Tiba-tiba aku merasa mual.

    “ Sungmin!” panggilku sambil meronta. Aish! Usahaku untuk
    memanggilnya malah dimanfaatkan Sungmin untuk memasukkan lidahnya
    kemulutku. Kini tangan kanannya tak hanya diam. Tangan kanannya sibuk
    meremas-remas payudaraku yang terbungkus kaos.

    “ Oh… ugh… Sungmin…” desahku saat menerima servicenya. Aku masih
    berusaha memanggilnya. Aigoo… aku semakin tak tahan. Aku benar-benar
    mual dan ingin muntah. Sedangkan Sungmin semakin memperkasar remasannya.
    Ia melumat bibirku dengan nafsunya yang memburu. Tampak dari nafas yang
    keluar dari hidungnya yang bisa kurasakan diwajahku.

    “ Sung… oh… Umin! Ugh.. Chang… oh…ka… agh.. man! Agh…” aku masih
    berusaha memanggilnya walaupun terbata karena desahan. Ternyata
    ciumannya telah beralih keleherku dan membuatku kegelian. Tangannya
    masih aktif.

    “ Umin!” teriakku sambil mendorongnya. Sukses! Ia terjengkang dan
    jatuh dari ranjang karena doronganku yang begitu keras.

    “ Huuuuuueek!!!! Hooooeeek!” aku pun muntah di samping ranjang. Weks!
    Aku sendiri jijik melihat muntahanku. Sebenarnya aku muntah tidak hanya
    sekali. Hari-hari sebelumnya pun aku sering muntah. Aigoo.. aku rasa
    aku masuk angin.
    “ Hoooooooekkk!” aku masih muntah-muntah.

    “ Aigoo! Gwencana, Hyo-ah?” tanya Sungmin khawatir. Tangannya
    mengelus-elus punggungku.

    “ Hooooeeekkk!” aku tak menjawab pertanyaannya yang sudah jelas
    jawabannya “I’m not okay!” dan masih sibuk pada aktifitas muntahku *?*.

    Setelah puas mintah *?*, Sungmin pun menatapiku dengan khawatir. “
    Kau sakit?” tanyanya. Aku hanya diam tak menjawab pertanyaannya. Aku pun
    mengusap-usap bibirku.
    “ Ayo kita periksa,” ucap Sungmin lalu tanpa basa-basi menarikku.
    ***
    Dirumah sakit…….

    “ Bagaimana keadaannya, dok?” tanya Sungmin khawatir. Hyoseo sudah
    duduk disebelahnya.
    “ Kalian berpacaran?” tanya dokter itu penuh selidik.
    “ A.. a-an…” perkataan Hyoseo terpotong.

    “ Ne. Memangnya kenapa, dok?” Sungmin memotong perkataan Hyoseo.
    Hyoseo melirik sinis padanya.
    “ Kalian belum menikah?” dokter itu masih mengintrogasi.

    “ Belum. Memangnya kenapa sih, dok?” tanya Sungmin penasaran.
    Sedangkan Hyoseo hanya menatapi dokter itu dengan penuh tanya.
    “ Yeojamu hamil!”
    “ Mwo?! Hyoseo hamil?!” pekik Sungmin kaget setengah mati.
    -THE END-